RITUAL PERSEMBAHAN LILIN DI KUIL KWAN IM
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Bagi orang Jawa yang percaya, Gunung
Kawi dianggap keramat karena terdapat Makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria dan Radeng Mas
Imam Sujono, pengikut Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri dan
menybebarkan ajaran-ajaran spiritual di Gunung Kawi. Berziarah ke makam Eyang
Raden Mas Kyai Zakaria dan raden Mas Imam Sujono yang terletak di Gunung Kawi
ini, dipercaya oleh kebanyak an pejiarah dapat mendatangkan keberuntungan. Sebelum
memasuki kawasan pesarean, pengunjung disambut dengan barisan para penjual di
sepanjang jalan menuju gerbang masuk Gunung Kawi yang menjual berbagai makanan,
bunga, bahkan pohon dewandaru. Saat sampai di gapura selamat datang “Pendopo
Pesarean Agung”, pengunjung akan menemui banguna gapura berbentuk seperti candi
lengkap dengan aksara jawa di bagian atasnya. Bagian depan dinding gapura kanan
dan kiri terdapat lukisan timbul yang menceritakan aktivitas Eyang Djoego dan
Eyang Soedjo semasa hidup, lengkap dengan tahun keberadaan mereka, tahun 1871.
Di
dalam kawasan makam terdapat pula kepercayaan-kepercayaan lain yang berkembang.
Jika kita menginginkan keselamatan, kita harus mengitari makam paling sedikit
tujuh kali putaran. Angka 7 dalam bahasa jawa adalah pitu. Hal ini kemudian
diartikan sebagai pitulungan. Dalam hal mengitari makam akan lebih baik lagi
jika dilakukan pada tengah malam pukul 00.00 dan jumlah putarannya sebanyak 12
atau lebih. Di samping kiri area pesarean juga dapat ditemui guci kuno yang merupakan
peninggalan Eyang Jugo. Konon guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci
untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama air zam-zam. Masyarakat meyakini bahwa
dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.
Ada banyak hal unik
yang berhubungan dengan kepercayaan yang dapat kita temukan di gunung Kawi.
Salah satu diantaranya adalah mitos sebuah pohon, yaitu pohon dewandaru yang
konon dipercaya bila kita kejatuhan daunnya, maka kita akan mendapat rejeki.
Pada malam-malam tertentu akan banyak sekali orang yang duduk bahkan sampai
tidur bawah pohon ini. Tak hanya semalaman saja orang-orang berada di bawah
pohon dewandaru tersebut menunggu daun yang akan jatuh, banyak dari mereka yang
sampai rela menunggu selama berhari bahkan berbulan-bulan hingga mereka rela
tidur di bawah pohon dewandaru tersebut. Selain mitos pohon dewandaru, terdapat
juga makam Mbah Djoego, seorang pertapa pembantu Pangeran Diponegoro, yang juga
sangat dijaga oleh penduduk setempat. Yang menjadi khas pada pasarean ini
adalah jumlah pengunjung yang sangat ramai pada hari Jum’at Legi dan pada malam
1 Sura. Banyak orang berbondong-bonong datang pada hari-hari tersebut untuk
memohon doa keselamatan dan kesuksesan hidup kepada Yang Maha Esa lewat
perantara ritual di pasarean Gunung Kawi tersebut.
Selain terkenal dengan keberadaan rumah padepokan Eyang Sujo dan kuil
tionghoanya, yang sangat populer di Gunung Kawi ini adalah giam si yakni meramal nasib dengan
menggunakan nomor. Caranya yaitu, orang yang ingin diramal mengocok sebuah
tabung yang yang berisi beberapa batang kayu yang telah diberi nomor di setiap
batangnya sambil memikirkan apa yang ingin diketahui. Orang yang diramal
tersebut mengocok hingga jatuh satu batang kayu. Nomor batang kayu yang
jatuh itu lah yang menjadi nomor peruntungannya. Arti dari nomor tersebut dapat
ditanyakan kepada penjaga ruang giam
si. Meski ramalan ini
identik dengan adat Cina, namun di Gunung Kawi penjaga yang membacakan nomor
peruntungan berasal dari warga setempat dan memakai pakaian adat Jawa.
Tak hanya etnis cina yang mengantri untuk giam si, namun etnis jawa juga tak
kalah semangatnya saat menunggu giliran untuk mengocok peruntungan nasib
tersebut.
Kepopuleran Gunung Kawi sebagai
tempat ziarah dan sembayang tak hanya dipercaya memberi keberuntungan oleh
orang jawa saja, bahkan terlihat banyak sekali etnis tionghoa yang juga
bersembahyang di sana. Keberadaan etnis tionghoa di Gunung Kawi bukan tanpa
alasan, karena dalam kompleks pesarean Gunung Kawi, selain terdapat makan
islam, dalam satu area pesarean tersebut
terdapat juga kuil Kuan Im yang digunakan untuk sembayang secara Kong Hu
Cu. Di dalam kuil Kwan Im tersebut terdapat banyak lilin-lilin menyala berwarna
merah yang berukuran sangat besar yang biasa disebut dengan lilin raksasa.
Lilin raksasa tersebut merupakan milik pengunjung yang rutin datang ke Kawi
untuk melakukan ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Apa makna dari ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im?
- Apa yang menjadi faktor pendorong pengunjung melakukan ritual persembahan Lilin di kuil Kwan Im?
- Apa tujuan dalam melakukan ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini antara lain:
- Untuk mengetahui makna dari ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im.
- Untuk mengetahui faktor pendorong pengunjung melakukan ritual persembahan Lilin di kuil Kwan Im.
- Untuk mengetahui tujuan dalam melakukan ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im.
BAB
II
2.1
MAKNA RITUAL
Secara
etimologis ritual berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu
dalam suatu masyarakat. Secara terminologis ritual merupakan ikatan kepercayaan
yang antarorang yang diwujudkan dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk
tatanansosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat
beragama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritual yang
diadakan oleh masyarakat. Ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong
masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah
disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan
nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan. Dengan memperhatikan
dua pengertian istilah di atas, dapat diketahui bahwa tidak mungkin memahami
bentuk, sifat, dan makna ritual masyarakat tanpa mengetahui secara mendalam
simbol-simbol ritual yang digunakannya. Meskipun demikian istilah simbol dan
ritual sebenarnya memiliki unsur-unsur yang saling menguatkan dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Simbol
dan ritualitas sosial keberagaman memiliki makna yang sangat multivokal atau
banyak makna. Makna multivokal dalam pengertian simbol dan ritual ini,
berhubungan erat dengan bagaimana simbol tersebut dipersepsi dan internalisasi
menjadi sistem kepercayaan baik secara individual maupun secara komunitas.
Secara etimologis simbol berarti tanda atau pertandaan yangdigunakan untuk
kepentingan ritual tertentu.Secara terminology simbol diartikan sebagai sesuatu
yang dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan
sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau
mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan
membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran. Memperhatikan definisi di
atas simbol merupakan pertandaan yang tidak hanya menyampaikan gambaran tentang
sesuatu yang bersifat immaterial, tetapi juga menyampaikan fenomena-fenomena
material yang ada dalam hati dan pikiran. Dalam kaitan ini, simbol dapat
dipahami sebagai ekpresi dalam wujud material yang digunakan masyarakat untuk
menggambarkan sesuatu yang immaterial atau kepercayaan. Simbol menggambarkan
bentuk, sifat, dan makna kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, sebab
demikian, makna simbol selalu menggambarkan ritual yang dilakukan oleh
masyarakat. Menurut Victor Turner tidak mungkin mengetahui makna ritualitas
masyarakat tanpa memahami makna simbol-simbol yang digunakannya.
Pada
dasrnya semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran
tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah
pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan
tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan
memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh
kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh
karena itu, ritual didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat,
dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari,
baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan
hadirnya sesuatu yang sakral. Ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan
cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada
ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan
keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan
yang dilakukan.
2.2
KUIL DEWI KWAN IM
Kuil (kata serapan Bahasa Indonesia dari koil) adalah struktur yang digunakan untuk aktivitas keagamaan atau
spiritual, seperti berdoa dan pengorbanan, atau ritus. Kuil merupakan sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa
di Indonesia
pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional
Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka
klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.
Biasanya orang-orang Tionghoa mengunjungi tempat ini pada hari-hari tertentu
untuk melakukan ritual keagamaan seperti memohon keselamatan , giam si, dll
Dahulu kuil adalah tempat
penghormatan pada leluhur "Ci" (rumah abuh). Pada awalnya
masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur
mereka sebagai rumah abuh. Para Dewa/Dewi yang dihormati tentunya berasal dari
suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/family/klan mereka.
Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa/Dewi yang
kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini dikenal sebagai kuil yang dapat dihormati
oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam kuil masih juga bisa
ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abuh leluhur yang
masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing-masing. Ada
pula di dalam kuil disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran/agama
leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari
ajaran Budha.
Kuil dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para
Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat
yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang
itu berasal. Saat ini kuil bukan lagi milik dari marga, suku, agama, organisasi
tertentu tapi adalah tempat umum yang dipakai bersama. Kuil dapat dikatakn
bukan milik Khong Hu Cu namun milik orang keturunan China. Jadi ajaran yang
diajarkan di Klenteng dapat saja ajaran Buddha, Tao, atau pun Khong Hu Cu.
Akhir-akhir ini kekeliruan terjadi karena Klenteng di klaim milik ajaran agama
tertentu.
Kuil Kwan Im yang berada di pesarean
Gunung Kawi merupakan kuil yang dibangun untuk menghormati sekaligus sebagai
persembahan kepada Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih) yaitu dewi pengampunan yang
sangat populer dalam kepercayaan China. Di dalamnya terdapat berbagai
patung-patung, tempat untuk bersembahyang serta altar yang berfungsi untuk
meletakkan lilin-lilin raksasa yang di persembahkan oleh pengunjung Pesarean
Gunung Kawi. Kuil Kwan Im merupakan kuil yang di khususkan untuk entis
tionghoa, oleh karena itu ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im juga
merupakan ritual yang dikhususkan untuk pengunjung etnis tionghoa yang
berkunjung ke pesarean gunung kawi.
2.3 SEJARAH GUNUNG KAWI
Mitos
bahwa suatu tempat bisa mendatangkan kekayaan dan kemakmuran masih menjadi
kepercayaan sebagian masyarakat. Salah satu tempat yang dipercaya dapat
mendatangkan kemakmuran dan kekayaan adalah Pesarean Gunung Kawi. Menurut kabar
yang beredar di masyarakat, orang-orang
yang pernah datang dan sukses akan mendatangi pesarean Gunung Kawi kembali
sebagai ucapan ‘terima kasih’. Kompleks pesarean Gunung Kawi terletak pada
ketinggian 2.860 meter dari permukaan laut di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten
Malang, Kecamatan Wonosari, Desa Wonosari. Secara geografis pesarean Gunung
Kawi berada di sebelah barat kota Malang, kira-kira ± 53 Km dari kota Malang,
arah Malang selatan ke kota Kepanjen, dan dari kota Kepanjen menuju arah utara
ke wisata Gunung Kawi.
Seperti
dataran tinggi lainnya, Gunung Kawi menawarkan keindahan pegunungan asri dengan
udara yang menyegarkan. Lebih dari itu, Gunung Kawi ternyata memiliki magnet
“lain” yang sangat kuat sebagai daya tarik. Karena bagi sebagian orang, Gunung
Kawi adalah salah satu tujuan wisata religius sekaligus simbol kemakmuran.
Memiliki ketinggian 2.860 meter dpl, Gunung Kawi tak pernah sepi pengunjung.
Pesona Gunung Kawi tidak hanya di kenal di dalam negeri saja, bahkan banyak
wisatawan mancanegara dari Hongkong, Taiwan hingga Singapura yang mendatangi
pesarean ini.
Tempat
yang selama ini menjadi pusat penghidupan masyarakat sekitar adalah dua buah
makam (pasarean) yang saat ini selalu dikunjungi oleh banyak orang. Makam ini
merupakan makam dari dua orang tangan kanan Pangeran Diponegoro, yang bernama
RM. Imam Soedjono dan Kanjeng Panembahan Djoego atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Eyang Djoego (Kanjeng Kyai Zakaria II). Cerita ini berawal setelah
Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar, kedua orang ini kemudian berpisah.
Eyang Djoego kemudian mendirikan perguruan di Kesamben, Blitar sedangkan RM
Imam Soedjono tinggal di Padepokan di kaki Gunung Kawi. Perguruan Eyang Djoego
mengalami kemajuan yang cukup pesat sehingga mempunyai banyak murid dan
akhirnya terkenal sampai di kaki Gunung Kawi. RM Imam Soedjono mendengar hal
tersebut dan kemudian pergi ke Kesamben untuk bertemu dengan Eyang Djoego.
Akhirnya dua sahabat lama ini pun dipertemukan.
Dalam pesannya sebelum wafat, Eyang Djoego meminta agar ketika beliau wafat, jasadnya dimakamkan di Gunung Kawi. Beberapa tahun kemudian, Eyang Djoego wafat dan dibawa ke Gunung Kawi untuk dimakamkan sesuai dengan amanahnya. Setelah Eyang Djoego wafat, RM Imam Soedjono juga berpesan agar kelak ketika beliau wafat juga dimakamkan di Gunung Kawi, berdampingan dengan makam Eyang Djoego, sahabatnya. Enam tahun kemudian, RM. Imam Soedjono pun menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan persis di samping makam Eyang Djoego sesuai dengan amanahnya. Kedua tokoh ini semasa mereka hidup dan berkarya selalu menanam kebaikan pada banyak orang. Karena kebaikan dan ketulusan hati mereka semasa hidup inilah, akhirnya menghantarkan banyak orang meminta pertolongan kepada mereka walaupun mereka sudah meninggal dengan mendatangi makam tersebut.
Dalam pesannya sebelum wafat, Eyang Djoego meminta agar ketika beliau wafat, jasadnya dimakamkan di Gunung Kawi. Beberapa tahun kemudian, Eyang Djoego wafat dan dibawa ke Gunung Kawi untuk dimakamkan sesuai dengan amanahnya. Setelah Eyang Djoego wafat, RM Imam Soedjono juga berpesan agar kelak ketika beliau wafat juga dimakamkan di Gunung Kawi, berdampingan dengan makam Eyang Djoego, sahabatnya. Enam tahun kemudian, RM. Imam Soedjono pun menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan persis di samping makam Eyang Djoego sesuai dengan amanahnya. Kedua tokoh ini semasa mereka hidup dan berkarya selalu menanam kebaikan pada banyak orang. Karena kebaikan dan ketulusan hati mereka semasa hidup inilah, akhirnya menghantarkan banyak orang meminta pertolongan kepada mereka walaupun mereka sudah meninggal dengan mendatangi makam tersebut.
Banyak
hal yang menarik di kawasan pemakaman ini. Sebelum kita masuk, kita akan
disuguhi dengan bangunan Gereja Kristen Pentakosta, Masjid Imam Soedjono, dan
Klenteng Kwam Im. Menurut kami, situasi yang demikian ini menjadikan Gunung
Kawi sebagai kawasan wisata yang multi kultur. Artinya semua orang bisa
berziarah di tempat ini, apapun latar belakang agama dan ras nya. Bahkan, ada
hal menarik lainnya yang kami jumpai. Pengurus Klenteng Kwam Im adalah seorang
muslim, haji. Beliau bernama haji Yusuf, yang kesehariaanya memantau keadaan
dan mengurusi segala kebutuhan di klenteng. Di dalam klenteng ini pula, akan
dijumpai sesuatu yang unik juga bagi sebagian besar mayarakat. Memasuki area
klenteng, mata kita akan dengan cepatnya melihat dan kagum akan lilin-lilin
raksasa yang diletakkan di depan altar, yang masing-masing mempunyai nama
sebagai tanda orang atau instansi yang memasang. Lilin terbesar sanggup menyala
selama 6 bulan dan harga belinya pun mencapai puluhan juta. Masyarakat
mempercayai bahwa nyala lilin tersebut melambangkan harapan untuk meraih kesuksesan.
Selama lilin yang dipasang menyala, maka dipercayai rejeki akan terus mengalir,
begitu juga sebaliknya.
2.3 KERANGKA PIKIRAN
BAB
III
3.1 TEKNIK PEMILIHAN
SAMPEL
Non-random Sampling
atau Non-probability Sampling

Dalam teknik purposeful sampling,
peneliti memilih subjek penelitian dan lokasi penelitian dengan tujuan untuk
mempelajari atau memahami permasalahan pokok yang akan diteliti. Dimana dalam
penelitian Ritual Persembahan Lilin di Kuil Kwan Im, peneliti memilih lokasi
penelitian yaitu, Kuil Kwan Im, serta dengan subjek penelitian yaitu, etnis
tionghoa yang sedang bersembahyang di kuil tersebut. Dalam pengambilan teknik
ini, subjek penelitian dan lokasi penelitian yang dipilih disesuaikan dengan
tujuan dari peneliti yaitu ingin mengetahui secara mendalam mengenai ritual
persembahan lilin yang dilakukan di Kuil Kwan Im. Sebelum penggunaan teknik
purposeful sampling, peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi strategi
sampling yang digunakan, yaitu dengan menggunakan Sampling yang bersifat
homogen (homogeneous sampling).

Dalam
penggunaan strategi sampling yang bersifat homogeny, peneliti memilih subjek
penelitian atau lokasi penelitian karena adanya kesamaan sifat atau
karakteristik antara subjek penelitian dengan kelompoknya. Peneliti memilih
subjek adalah etnis tionghoa dan lokasi penelitian adalah Kuil Kwan Im,dimana
terdapat kesamaan sifat atau karakteristik yaitu kuil yang memang identik
dengan etnis tionghoa. Kuil pada dasarnya memang tempat yang di kulturkan atau
di khususkan untuk sembahyang etnis tionghoa, begitu juga dengan Kuil Kwan Im
yang di khususkan untuk sembahyang etnis tionghoa yang berkunjung ke pesarean
Gunung Kawi.
3.2 METODE PENGUMPULAN
DATA

Metode observasi adalah peroses
pencatatan pola perilaku subyek (orang), objek (benda) atau kejadian yang
sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan
individu-individu yang diteliti. Metode ini menghasilkan data yang lebih rinci
mengenai perilaku (subjek), benda atau kejadian (objek). Dalam penelitian ini
metode observasi dilaksanakan langsung dengan melalui pengamatan langsung pada
prosesi sembahyang dan pola perilaku (etnis tionghoa) terhadap benda atau
kejadia (lilin) yang dilakukan oleh etnis tionghoa di Kuil Kwan Im.

Berdasarkan pelaksanaan (posisi
observer yang berhubungan dengan bagaimana observasi dilakukan), observasi ini
menggunakan metode Observasi Non-Partisipan. Observasi yang dalam pelaksanaanya tidak melibatkan peneliti sebagai
pertisipasipan atau kelompok yang diteliti, dimana observer tidak ikut di dalam kehidupan
orang yang akan diobservasi, dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat.
Di dalam hal ini observer hanya bertindak sebagai pengamat saja tanpa harus
ikut terjun langsung ke dalam ritual atau prosesi yang di lakukan subjek.

Teknik
pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah wawancara. Teknik ini dilakukan
apabila seorang peneliti ingin mengetahui suatu hal yang lebih mendalam dari
responden. Teknik wawancara ini didasarkan pada laporan pribadi, atau
setidaknya memuat pengetahuann dan keyakinan pribadi. Dalam penelitian ritual
persemhbahan lilin di kuil Kwan Im,
peneliti melakukan metode wawancara, dimana peneliti ingin mengetahui secara
mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ritual persembahan lilin yang
dilakukan di Kuil Kwan Im.
3.3 PENDEKATAN
PENELITIAN

Pada
pendekatan etnografi peneliti memfokuskan penelitiannya pada kelompok atau
suatu perilaku, adat istiadat, dan pandangan hidup kelompok tertentu melalui
pengamatan penelitian secara langsung terhadap kelompok yang bersangkutan. Data
yang diperoleh pun tidak hanya bersumber dari perkataan responden, melainkan
diperkaya pula dengan hasil pengamatan, baik dalam bentuk foto, gambar dan
symbol yang berhubungan dengan responden. Dalam penelitian ini, peneliti
memfokuskan penelitiannya pada kelompok atau etnis tionghoa yang bersembahyang
di Kuil Kwan Im. Peneliti juga memfokuskan penelitiannya pada kepercayaan etnis
tionghoa akan makna dari ritual persembahan lilin, serta kepercayaan masyarakat
tionghoa akan filosofi dari symbol yang digunakan dalam sembahyang yaitu, lilin
yang berwarna merah.
BAB
IV
ANALISIS
PEMBAHASAN
4.1
RITUAL PERSEMBAHAN LILIN DI KUIL KWAN IM
Selain
ziarah di makam kedua bangsawan Yogyakarta itu, di kawasan pesarean juga
terdapat dua tempat kunjungan yang sangat dikultuskan etnis Tionghoa, yakni
kediaman Tan Kie Lam dan Kuil Dewi Kwan Im. Mpek Lam yang merupakan sapaan Tan
Kie Lam adalah warga Tionghoa yang merupakan murid kesayangan Eyang Soedjo. Itu
sebabnya, meski Mpek Lam telah meninggal 44 tahun lalu, kawasan Pesarean Gunung
Kawi, terutama Kuil Kwan Im dan kediaman Mpek Lam, menjadi tempat tujuan warga
keturunan Tionghoa. Bahkan, kehadiran mereka sangat dominan dibanding etnis
lainnya. Pluralitas agama ini terlihat sangat harmonis. Ini bisa diwakili
dengan letak Masjid Imam Soedjono yang berdiri tak jauh dari Kuil Kwan Im.
Selain
lokasinya yang dekat dengan masjid, keberadaan kuil itu tampak mencolok dengan
lilin raksasa sebagai simbol dari Ti Kong. Di dalam kuil Kwan Im kukuh berdiri
puluhan lilin merah ukuran raksasa dengan api beraroma harum terpancar dari
sumbunya. Menurut kepercayaan etnis tionghoa, nyala lilin yang tingginya
melebihi tinggi manusia dewasa itu merupakan bentuk persembahan umat kepada
penciptanya. "Nyala lilinnya besar
berarti kasih sayang Pencipta juga besar, itu perlambang saja. Bukan berarti
lilin yang kecil tidak bermakna demikian.
Di
dalam klenteng ini pula, akan dijumpai sesuatu yang unik juga bagi sebagian
besar mayarakat. Memasuki area klenteng, mata kita akan dengan cepatnya melihat
dan kagum akan lilin-lin raksasa yang ada di depan altar, yang masing-masing
mempunyai nama sebagai tanda orang atau instansi yang memasang. Masyarakat
mempercayai bahwa nyala lilin tersebut melambangkan harapan untuk meraih
kemakmuran. Selama lilin yang dipasang menyala, maka dipercayai rejeki akan
terus mengalir, begitu juga sebaliknya. Lilin-lilin tersebut milik orang-orang yang rutin datang ke
Gunung Kawi untuk bersembayang di kuil Kwan Im. Bagi masyarakat atau etnis
tionghoa lilin adalah simbol penerangan yang digunakan dalam sembahyang dengan
keyakinan bahwa nyala lilin merupakan simbol penerangan akan jalan hidup yang
terang. Lilin-lilin persembahan tersebut harganya mencapai puluhan juta rupiah,
tergantung dari ukurannya. Untuk ukuran yang terkecil dengan lama nyala selama
3 bulan, lilin tersebut dihargai 15 juta. Untuk yang termahal dapat mencapai
hingga 45 juta dengan lama nyala lilin kurang lebih selama 6 sampai 7 bulan.
Para pengunjung percaya bahwa semakin besar lilin yang dinyalakan semakin terang
jalan hidupnya.
4.2 MAKNA RITUAL
PERSEMBAHAN LILIN
Kepercayaan
Tradisonal
Kepercayaan tradisional cina
merupakan kepercayaan kaum tionghoa yang jika digabungkan dengan tradisi dan
budaya sangat cocok. Kepercayaan tradisional tionghoa ini juga merupakan campuran
3 agama: budha, tao, dan kong hu chu. Aliran ini tercipta karena alkulturasi
agama saat dahulu di cina yang berakhir menjadi kepercayaan yang dapat bersatu
dengan budaya. Aliran ini cukup menarik jika digabungkan dengan tradisi pasti
berkaitan dengan aliran ini dan sebaliknya (hubungan timbal balik antara budaya
dan juga aliran kepercayaan). Aliran ini juga mengambil semua ajaran yang
menarik serta inspiratif bagi pengikutnya. Ajaran Kong hu cu mengajarkan
serangakaian ritual yang dilakukan dengan penggunaan sesaji tertentu sebagai
penggunaan simbol dalam sembahyang. Ajaran Tao dan budha yang jika sembahyang
atau berdoa menggunakan dupa/hio, lilin, dan menyembah patung dewa/budha.
Aliran agama ini memang sudah lama terbentuk sejak dahulu oleh para pembawanya
(budha, kong zi, dan lao zi). Dupa atau hio serta lilin merupakan sebagian
kecil bentuk terkecil penggunaan symbol dalam sebuah ritual.
Kepercayaan
akan Simbol yang Sakral
Hal-hal yang sakral selalu diartikan
sebagai sesuatu yang superior, berkuasa dalam kondisi normal tidak tersentuh,
dan selalu dihormati. Sebagimana Durkheim menulis: “Semua kepercayaan religius,
yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu ciri umum, yaitu
mensyaratkan pengklasifikasian yang sakral. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal
yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan.” Lantas, “Bagaimana
sebuah objek dapat menjadi sakral?” Berkaitan dengan hal ini Durkheim menulis:
“ kekuatan religius tidak lain tidak bukan adalah perasaan-perasaan dalam diri
setiap individu yang dipancing oleh kolektivitas, akan tetapi diproyeksikan ke
luar pikiran yang mencerap dan mengobjektivikasinya. Agar bisa bisa
diobjektivikasi, kekuatan tersebut harus melekat pada sesuatu yang kemudian
menjadi sacral. Kesakralan yang dimiliki oleh sesuatu tidaklah muncul dari sisi
intrinsik sesuatu tersebut: Kesakralan tersebut diimbuhkan padanya.” Menjadi jelas disini, bahwa penetapan sakral
atau tidaknya suatu objek tertentu sangat dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi
kolektif yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam
hal ini kuil Kwan Im dijadikan sebagai sarana komunikasi dengan Sang Penguasa.
Bentuk komunikasi antara umat dan Sang Penguasanya adalah ditungkan dalam
bentuk Ritual persembahan Lilin. Dalam ritual ini, lilin dipercaya sebagai
simbol sakral yang akan dipersembahkan kepada Sang Penguasa. Lilin yang
memiliki filosofi yang penuh dengan keberuntungan dipercaya akan mampu menjadi
sarana penyampaian segala doa atau pengharapan umat kepada Penguasa.
Adanya ritus atau
upacara itu merupakan suatu upaya manusia untuk menjaga keselamatan dan
sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Pada dasarnya konsep berpikir mayarakat
Tionghoa selalu mengembalikan kepada hakekat keharmonisan antara kehidupan
langit (alam gaib), kehidupan di bumi, dan manusia (alam dunia nyata). Mereka
percaya bahwa alam semesta ini sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam.
Alam dikuasai spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa. Alam semesta
semata-mata hanyalah ekspresi dari kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit
yang mendiami alam. Berbagai spirit ini berada dan hidup dalam fenomena alam
seperti langit, matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung dan fenomena
lainnya. Di antara spirit alam terdapat spirit yang berasal dari arwah nenek
moyang yang kekuatan hidupnya demikian kuat, sehingga dapat melanjutkan
kekekalan hidupnya setelah jasmaninya mati. Mereka percaya jika melakukan
penyembahan atau doa pada leluhur atau nenek moyang, maka akan terhindar dari
kutukan nenek moyang. Spirit-spirit alam seperti bumi, langit, matahari,
tumbuh-tumbuhan, air ini kemudian diakui sebagai dewa-dewi yang merupakan cikal
bakal leluhurnya. Sampai saat ini masyarakat atau etnis tionghoa masih memegang
teguh kepercayaan tersebut.
Salah satu pemikiran Emile Durkheim
yang cukup terkenal adalah teori tentang agama dan kepercayaan adalah “agama
merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial.” Kepercayaan dan
ritual-ritual keagamaan bagi Durkheim, merupakan ungkapan simbolik dari
realitas sosial. Realitas sosial itu mendahului realitas agama. Ia menjiwai,
melatarbelakangi, dan melahirkan realitas-realitas keagamaan. Kepercayaan
masyarakat tionghoa atas filosofi nyala lilin di tuang ke dalam
realitas-realitas sosial yaitu berupa ritual persembahan lilin yang dilakukan
di Kuil Kwan Im Pesarean Gunung Kawi. Pengunjung yang datang ke pesarean Gunung
Kawi percaya bahwa dengan melakukan ritual persembahan lilin tersebut maka,
akan mendatangkan segala keberuntungan bagi kehidupan mereka. Nyala lilin
sendiri dipercaya bahwa semakin terang nyala lilin tersebut, maka semakin
terang juga jalan hidupnya. Nyala lilin yang terang sendiri tergantung dari
besar lilin, maka semakin besar ukuran lilin, akan semakin besar dan tahan lama
pula nyalanya. Oleh karena itu, di area Kuil Kwan Im, dapat dijumpai
lilin-lilin raksasa yang di letakkan di altar Kuil. Lilin-lilin tersebut
merupakan bentuk ritual persembahan pengunjung yang datang ke Kuil Kwan Im.
Victor Turner (1982:19) menyatakan
bahwa “The symbol is the smallest unit of ritual which still retains the
specific properties of ritual behavior. It is the ultimate unit of specific
structure in a ritual context”. Maksudnya, simbol adalah unit (bagian)
terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang
bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus
dalam konteks ritual. Itulah sebabnya, pada bagian lain Turner (1981:2) juga
menyatakan bahwa “the ritual is an agregation of symbols”. Senada dengan ini,
Radcliffe-Brown (1979:155-177) juga berpendapat jika tindakan ritual itu banyak
mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada
simbol-simbol ritual tersebut.
Berdasarkan pernyataan tersebut
dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang
menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual
yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian terkecil ritual pun perlu
mendapat perhatian peneliti, seperti sesaji-sesaji, mantra, dan ubarampe lain.
Oleh karena, menurut Spradley (1997:121) simbol adalah objek atau peristiwa
apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah suatu tanda yang
memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan persetujuan umum
dalam tingkah laku ritual.
Di dalam kepercayaan etnis tionghoa,
bersembahyang diartikan sebagai bentuk komunikasi antara manusia dengan para
leluhur, shen ming (roh suci) dan TIAN (Tuhan Yang Maha Esa). Di dalam
melakukan persembahyangan selalu ada persembahan yang disajikan seperti
buah-buahan, lauk pauk, penganan berupa kue, dan hewan kurban. Selain sesaji
tersebut orang tionghoa juga menggunakan dupa dan lilin dalam prosesi
senbahyang mereka. Semuanya itu merupakan bentuk simbol atau lambang yang penuh
dengan makna. Bentuk dan jenis persembahan itu berbeda-beda, tergantung kepada
siapa mereka melakukan sembahyang. Etnis tionghoa menggunakan dupa (hio/xiang)
dan lilin ketika melakukan sembahyang. Dupa (hio/xiang) mengandung makna 'harum
semerbak', segala doa, permohonan,dan harapan yang keluar dari hati yang tulus
itu bermohon agar diberkahi oleh Yang Maha Kuasa diiiringi harum dupa yang
semerbak. Sedangkan lilin sebagai penerangan jiwa dan batin kita, sebagai
pelita dalam menjalani kehidupan ini.
Dalam kepercayaan
masyarakat tionghoa lilin yang disebut juga la merupakan lambang
persembahan umat kepada sang pencipta. Nyala lilin besar yang tingginya
melebihi tinggi manusia dewasa berarti kasih sayang Pencipta juga besar, dan
itu perlambang saja, bukan berarti lilin yang kecil tidak bermakna demikian.
Lilin sebagai alat penerangan menyimbolkan bahwa manusia harus menjadi penerang
bagi manusia lainnya. Penerang dalam arti juga bisa memberikan jalan keluar
bagi orang lain yang punya permasalahan. Dari awal menyala sampai padam lilin
selalu menjadi penerang, demikian halnya dengan manusia keberadaannya harus
menjadi penerang sejak kecil hingga akhir hayatnya .
Selain
filosofi mengenai lilin, etnis tionghoa juga dikenal dengan warna khas mereka
yaitu warna merah. Pada masyarakat Tionghoa, warna merah dinilai mengan- dung
arti keberuntungan dan kebahagiaan. Oleh sebab itu setiap ornamen, warna kuil,
baju, lilin dan lain sebagainya selalu berwarna merah. Warna merah juga
merupakan simbol keberanian dan kesucian, ini mengandung arti bahwa pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan memiliki jiwa keberanian.
Selain itu, masyarakat tionghoa juga percaya bahwa warna merah merupakan warna
keberuntungan atau penebusan, jadi tujuannya adalah sebagai korban keselamatan.
Lilin-lilin
warna merah biasanya digunakan dalam prosesi sembahyang di klenteng. Pada
kepercayaan etnis tionghoa lilin biasanya digunakan untuk upacara sujud yang
diletakkan di depan meja sembahyang dengan tujuan untuk menghormati leluhur
sekaligus minta berkat. Namun, di Kuil Kwan Im Gunung Kawi lilin besar atau yang
biasa di sebut dengan lilin raksasa diletakkan berjejer di depan altar. Dalam
ritual persembahan lilin tersebut, sepasang lilin raksasa berwarna merah
dipasang disebelah kiri dan kanan altar. Masing-masing lilin tersebut mempunyai
nama sebagai tanda orang atau instansi yang memasang atau yang mempersembahkan
lilin-lilin tersebut. Lilin terbesar yang ada di Kuil Kwan Im sanggup menyala
selama 6 bulan dan harganya pun mencapai puluhan juta. Masyarakat tionghoa yang
datang kuil Kwan Im mempercayai bahwa nyala lilin tersebut melambangkan harapan
untuk meraih kesuksesan. Selama lilin yang dipasang menyala, maka dipercayai
rejeki akan terus mengalir.
Pengaruh elemen alam: antara mitos
dan fakta
Masyarakat Tionghoa memilki tradisi
yang kuat untuk mentransfer nilai-nilai tradisional yang di ketahuinya pada
anak cucu. Mereka meyakini ada lima faktor yang mempengaruhi hidup manusia
yaitu, nasib pada saat lahir, hoki, feng shui, pendidikan atau pengalaman dan
amalan. Selain itu ada lima unsur atau elemen yang membentuk alam semesta
sehingga di akui dalam kalender Tionghoa. Kelima elemen itu adalah logam, air,
kayu, api, dan tanah.Setiap unsur juga mempunyai pengaruh khas terhadap
individu yang lahir pada tahun Shio yang bersangkutan.
Segala sesuatu yang
kita jumpai terdiri dari lima unsur yang dipercayai masyarakat tionghoa sebagai
dasar kehidupan: air, kayu, logam, tanah, dan api. Karena mereka menganggap
bahwa keseluruhan alam semesta terus-menerus berubah dan selalu berganti, maka
unsur-unsur pun selalu berganti melalui interaksi satu sama lain. Orang China
percaya bahwa benda memang ada, tetapi keberadaan itu dibatasi waktu di dalam
daur perubahan yang tidak terelakkan. Sebuah model alternative selalu
dikombinasikan dengan Yin dan Yang yang didasarkan pada Wuxing, suatu
pengertian dengan berbagai cara yang diterjemahkan sebagai lima elemen
atau lima bagian, lima agen, lima fase atau tahap, atau lima kualitas
operasional. kayu, api, tanah, logam, dan air: Wuxing berhubungan dengan lima
pengertian, lima organ dalam, lima suara, lima warna, lima kebaikan, dan lima
hubungan.
Kelima
elemen yang ada akan mengontrol semua yang ada di bumi: air mengontrol api, api
mengontrol logam, logam mengontrol bumi, bumi mengontrol air. Kombinasi Yin dan
Yang yang didasarkan pada Wuxing yang berhubungan dengan warna adalah elemen
Api (Lilin) yang dikombinasikan dengan warna merah, yang melambangkan
keberuntungkan. Filosofi api sendiri merupakan salah satu elemen pembawa segala
keberuntungan, dimana semakin besar nyala lilin yang dipersembahkan kepada
penguasa, maka keberuntungan yang di dapat juga akan semakin besar. Oleh karena
itu, dalam kuil-kuil banyak dijumpai lilin-lilin berwarna merah yang di
letakkan di depan altar. Seperti halnya dengan kuil Kwan Im, disana dapat
dijumpai lilin-lilin yang tidak hanya berukuran kecil saja, bahkan di kuil
tersebut dapat dijumpai juga lilin raksasa yang mencapai tinggi badan orang
dewasa. Di Kuil Kwan Im kita dapat menjumpai lilin yang dinyalakan mampu
bertahan hingga 7 bulan.
4.3 FAKTOR PENDORONG
DALAM RITUAL PERSEMBAHAN LILIN
Bangsa Tiongkok merupakan suatu
kelompok mesyarakat yang penuh dengan segala macam legenda, misteri, dan
tradisi yang telah mengakar kuat dari turun temurun. Kadang-kadang orang asing
yang menggolongkan etnis Tionghoa sebagai bangsa yang paling sukar untuk di
mengerti. Etnik langka yang mansih dapat mempertahankan tradisi serta
kepercayaannya. Pelaku binis etnis Tionghoa terkenal sebagai pekerja keras,
hemat, dan ulet, maka keutamaan-keutamaan itu mengandaikan pelaku bisnis
memilki perencanaan jangka panjang dan bukan orientasi pada keuntungan tinggi
yang segear di dapat. Pada dasrnya pengunjung yang melakukan ritual persembahan
lilin masih meyakini dan masih memegang teguh pada warisan nenek moyang dalam
proses meraih kemakmuran hidup, antara lain:



Selain ketiga
hal diatas, yang tidak boleh dilupakan dalam proses meraih kemakmuran dalam
hidup adalah:

4.4
TUJUAN MELAKUKAN RITUAL PERSEMBAHAN LILIN
Filsafat
untuk Kemakmuran
Dalam
tradisi masyarakat tionghoa, mereka sangat memegang teguh pandangan hidup yang
diyakini dari nenek moyang hingga sekarang, yaitu untuk dapat mencapai
keselarasan hidup manusia mengenal atau mempergunakan lima elemen sebagi
panduannya melangkah. Dalam berhubungan dengan alam, manusia harus senantiasa
menjaga keselarasan atau mempergunakan kombinasi Yin dan Yang atau Wuxing.
Selain itu, untuk dapat mencapai kemakmuran hidup, manusia tidak hanya
menggandalkan kepercayaan bahwa
ada lima faktor yang mempengaruhi hidup manusia yaitu, nasib pada saat lahir,
hoki, feng shui, pendidikan atau pengalaman dan amalan, namun di balik itu
manusia juga harus di dukung oleh keberuntungan, keberkahan, dan
keselamatan.
Para pengunjung yang melakukan
ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im percaya bahwa dengan melakukan ritual
tersebut, maka jalan terang menuju keberuntungan akan segera menghampiri
kehidupan mereka. Karena lilin dan warna merah memang di percaya oleh
masyarakat atau etnis tionghoa sebagai symbol keberuntungan. Dengan melakukan
ritual persembahan tersebut, pengunjung berharap akan memperoleh keberuntungan,
keberkahan, dan keselamatan sehingga dalam hidupnya akan terarah menuju
kemakmuran.
Keberuntungan disini, diartikan akan
selalu memperoleh keberutungan dalam segala hal. Karena keberhasilan seseorang
selain di dudukung oleh nasib pada saat lahir, feng shui, pendidikan atau
pengalaman, amalan dan keberuntungan atau oleh masyarakat tionghoa biasa
disebut hoki. Keberuntungan disini diharapkan dapat mengantarkan seseorang
meraih keberhasilan dalam hidupnya, baik beruntung dalam hal rezeki atau
pekerjaan. Keberkahan disini, selain diartikan dengan rezeki atau materi, juga
di harapkan perjalanan hidup orang yang melakukan ritual persembahan lilin
tersebut, selalu di berkahi oleh penguasa, sehingga di mudahkan jalan menuju
kesuksesan dan dimudahkan dari segala rintangannya. Keselamatan, di jabarkan
sebagai bentuk perlindungan penguasa kepada umatnya. Masyarakat tionghoa
percaya bahwa sesuatu yang besar tidak diperoleh dengan cara mudah. Artinya
akan selalu ada rintangan dalam meraih sesuatu dalam hidup. Oleh karena itu,
umat selalu meminta keselamatan dan perlindungan kepada penguasa akan datangnya
bahaya yang tidak mereka ketahui datangnya. Jika ketiga hal tersebut telah
dicapai, maka diharapkan kemamkmuran akan diperoleh dalam hidupnya.
BAB
V
PENUTUP
5.1
KESIMPULAN
Ritual
merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan
masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat.
Ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan
mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa
lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang
mempercayai dan mempraktekkan. Di pesarean gunung Kawi. Ada banyak macam ritual
yang dapat dilakukan oleh pengunjung, salah satunya adalah ritual persembahan
lilin di kuil Kwan Im.
Dalam
ritual tersebut digunakan lilin-lilin raksasa yang digunakan sebagai symbol
persembahan. Lilin-lilin raksasa tersebut diletakkan di depan altar Kuil Kwan
Im, yang masing-masing mempunyai nama sebagai tanda orang atau instansi yang
memasang. Kepercayaan masyarakat tionghoa mempercayai bahwa nyala lilin
tersebut melambangkan harapan untuk meraih kemakmuran. Selama lilin yang
dipasang menyala, maka dipercayai rejeki akan terus mengalir, begitu juga
sebaliknya. Lilin-lilin
tersebut milik orang-orang yang rutin datang ke Gunung Kawi untuk bersembayang
di kuil Kwan Im. Lilin-lilin persembahan tersebut harganya mencapai puluhan
juta rupiah, tergantung dari ukurannya.bagi orang tionghoa, lilin merupakan
lambang penerangan akan jalan hidup yang terang pula.
Kombinasi
Yang dan Yin yang didasarkan pada Wuxing yang berhubungan dengan warna adalah
elemen Api (Lilin) yang dikombinasikan dengan warna merah, yang melambangkan
keberuntungkan. Filosofi api sendiri merupakan salah satu elemen pembawa segala
keberuntungan, dimana semakin besar nyala lilin yang dipersembahkan kepada
penguasa, maka keberuntungan yang di dapat juga akan semakin besar. Oleh karena
itu, dalam kuil-kuil banyak dijumpai lilin-lilin berwarna merah yang di
letakkan di depan altar. Seperti halnya dengan kuil Kwan Im, disana dapat
dijumpai lilin-lilin yang tidak hanya berukuran kecil saja, bahkan di kuil
tersebut dapat dijumpai juga lilin raksasa yang mencapai tinggi badan orang
dewasa. Bahkan terdapat nyala lilin yang
mampu bertahan hingga 7 bulan.
Para pengunjung yang melakukan ritual persembahan lilin di
Kuil Kwan Im percaya bahwa dengan melakukan ritual tersebut, maka jalan terang
menuju keberuntungan akan segera menghampiri kehidupan mereka. Karena lilin dan
warna merah memang di percaya oleh masyarakat atau etnis tionghoa sebagai
symbol keberuntungan. Dengan melakukan ritual persembahan tersebut, pengunjung
berharap akan memperoleh keberuntungan, keberkahan, dan keselamatan sehingga
dalam hidupnya akan terarah menuju kemakmuran.
LAMPIRAN