Kamis, 14 Juni 2012

RITUAL PERSEMBAHAN LILIN DI KUIL KWAN IM



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
            Bagi orang Jawa yang percaya, Gunung Kawi dianggap keramat karena terdapat Makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria dan Radeng Mas Imam Sujono, pengikut Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri dan menybebarkan ajaran-ajaran spiritual di Gunung Kawi. Berziarah ke makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria dan raden Mas Imam Sujono yang terletak di Gunung Kawi ini, dipercaya oleh kebanyak an pejiarah dapat mendatangkan keberuntungan. Sebelum memasuki kawasan pesarean, pengunjung disambut dengan barisan para penjual di sepanjang jalan menuju gerbang masuk Gunung Kawi yang menjual berbagai makanan, bunga, bahkan pohon dewandaru. Saat sampai di gapura selamat datang “Pendopo Pesarean Agung”, pengunjung akan menemui banguna gapura berbentuk seperti candi lengkap dengan aksara jawa di bagian atasnya. Bagian depan dinding gapura kanan dan kiri terdapat lukisan timbul yang menceritakan aktivitas Eyang Djoego dan Eyang Soedjo semasa hidup, lengkap dengan tahun keberadaan mereka, tahun 1871.
            Di dalam kawasan makam terdapat pula kepercayaan-kepercayaan lain yang berkembang. Jika kita menginginkan keselamatan, kita harus mengitari makam paling sedikit tujuh kali putaran. Angka 7 dalam bahasa jawa adalah pitu. Hal ini kemudian diartikan sebagai pitulungan. Dalam hal mengitari makam akan lebih baik lagi jika dilakukan pada tengah malam pukul 00.00 dan jumlah putarannya sebanyak 12 atau lebih. Di samping kiri area pesarean juga dapat ditemui guci kuno yang merupakan peninggalan Eyang Jugo. Konon guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama air zam-zam. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.
            Ada banyak hal unik yang berhubungan dengan kepercayaan yang dapat kita temukan di gunung Kawi. Salah satu diantaranya adalah mitos sebuah pohon, yaitu pohon dewandaru yang konon dipercaya bila kita kejatuhan daunnya, maka kita akan mendapat rejeki. Pada malam-malam tertentu akan banyak sekali orang yang duduk bahkan sampai tidur bawah pohon ini. Tak hanya semalaman saja orang-orang berada di bawah pohon dewandaru tersebut menunggu daun yang akan jatuh, banyak dari mereka yang sampai rela menunggu selama berhari bahkan berbulan-bulan hingga mereka rela tidur di bawah pohon dewandaru tersebut. Selain mitos pohon dewandaru, terdapat juga makam Mbah Djoego, seorang pertapa pembantu Pangeran Diponegoro, yang juga sangat dijaga oleh penduduk setempat. Yang menjadi khas pada pasarean ini adalah jumlah pengunjung yang sangat ramai pada hari Jum’at Legi dan pada malam 1 Sura. Banyak orang berbondong-bonong datang pada hari-hari tersebut untuk memohon doa keselamatan dan kesuksesan hidup kepada Yang Maha Esa lewat perantara ritual di pasarean Gunung Kawi tersebut.
            Selain terkenal dengan keberadaan rumah padepokan Eyang Sujo dan kuil tionghoanya, yang sangat populer di Gunung Kawi ini adalah giam si yakni meramal nasib dengan menggunakan nomor. Caranya yaitu, orang yang ingin diramal mengocok sebuah tabung yang yang berisi beberapa batang kayu yang telah diberi nomor di setiap batangnya sambil memikirkan apa yang ingin diketahui. Orang yang diramal tersebut mengocok hingga jatuh satu batang kayu. Nomor batang kayu yang jatuh itu lah yang menjadi nomor peruntungannya. Arti dari nomor tersebut dapat ditanyakan kepada penjaga ruang giam si. Meski ramalan ini identik dengan adat Cina, namun di Gunung Kawi penjaga yang membacakan nomor peruntungan  berasal dari warga setempat dan memakai pakaian adat Jawa. Tak hanya etnis cina yang mengantri untuk giam si, namun etnis jawa juga tak kalah semangatnya saat menunggu giliran untuk mengocok peruntungan nasib tersebut.
            Kepopuleran Gunung Kawi sebagai tempat ziarah dan sembayang tak hanya dipercaya memberi keberuntungan oleh orang jawa saja, bahkan terlihat banyak sekali etnis tionghoa yang juga bersembahyang di sana. Keberadaan etnis tionghoa di Gunung Kawi bukan tanpa alasan, karena dalam kompleks pesarean Gunung Kawi, selain terdapat makan islam, dalam satu area pesarean tersebut  terdapat juga kuil Kuan Im yang digunakan untuk sembayang secara Kong Hu Cu. Di dalam kuil Kwan Im tersebut terdapat banyak lilin-lilin menyala berwarna merah yang berukuran sangat besar yang biasa disebut dengan lilin raksasa. Lilin raksasa tersebut merupakan milik pengunjung yang rutin datang ke Kawi untuk melakukan ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im.

1.2 RUMUSAN MASALAH
            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Apa makna dari ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im?
  2. Apa yang menjadi faktor pendorong pengunjung melakukan ritual persembahan Lilin di kuil Kwan Im?
  3. Apa tujuan dalam melakukan ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im?

 1.3 TUJUAN PENELITIAN
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini antara lain:
  1. Untuk mengetahui makna dari ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im.
  2. Untuk mengetahui faktor pendorong pengunjung melakukan ritual persembahan Lilin di kuil Kwan Im.
  3. Untuk mengetahui tujuan dalam melakukan ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im.
 

BAB II

2.1 MAKNA RITUAL

            Secara etimologis ritual berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara terminologis ritual merupakan ikatan kepercayaan yang antarorang yang diwujudkan dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanansosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. Ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan. Dengan memperhatikan dua pengertian istilah di atas, dapat diketahui bahwa tidak mungkin memahami bentuk, sifat, dan makna ritual masyarakat tanpa mengetahui secara mendalam simbol-simbol ritual yang digunakannya. Meskipun demikian istilah simbol dan ritual sebenarnya memiliki unsur-unsur yang saling menguatkan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
            Simbol dan ritualitas sosial keberagaman memiliki makna yang sangat multivokal atau banyak makna. Makna multivokal dalam pengertian simbol dan ritual ini, berhubungan erat dengan bagaimana simbol tersebut dipersepsi dan internalisasi menjadi sistem kepercayaan baik secara individual maupun secara komunitas. Secara etimologis simbol berarti tanda atau pertandaan yangdigunakan untuk kepentingan ritual tertentu.Secara terminology simbol diartikan sebagai sesuatu yang dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran. Memperhatikan definisi di atas simbol merupakan pertandaan yang tidak hanya menyampaikan gambaran tentang sesuatu yang bersifat immaterial, tetapi juga menyampaikan fenomena-fenomena material yang ada dalam hati dan pikiran. Dalam kaitan ini, simbol dapat dipahami sebagai ekpresi dalam wujud material yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial atau kepercayaan. Simbol menggambarkan bentuk, sifat, dan makna kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, sebab demikian, makna simbol selalu menggambarkan ritual yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Victor Turner tidak mungkin mengetahui makna ritualitas masyarakat tanpa memahami makna simbol-simbol yang digunakannya.
            Pada dasrnya semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental. Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan.   

2.2 KUIL DEWI KWAN IM
            Kuil (kata serapan Bahasa Indonesia dari koil) adalah struktur yang digunakan untuk aktivitas keagamaan atau spiritual, seperti berdoa dan pengorbanan, atau ritus. Kuil merupakan sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu. Biasanya orang-orang Tionghoa mengunjungi tempat ini pada hari-hari tertentu untuk melakukan ritual keagamaan seperti memohon keselamatan , giam si, dll
            Dahulu kuil adalah tempat penghormatan pada leluhur "Ci" (rumah abuh). Pada awalnya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para Dewa/Dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/family/klan mereka. Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa/Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini  dikenal sebagai kuil yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam kuil masih juga bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing-masing. Ada pula di dalam kuil disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran/agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Budha. Kuil dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal. Saat ini kuil bukan lagi milik dari marga, suku, agama, organisasi tertentu tapi adalah tempat umum yang dipakai bersama. Kuil dapat dikatakn bukan milik Khong Hu Cu namun milik orang keturunan China. Jadi ajaran yang diajarkan di Klenteng dapat saja ajaran Buddha, Tao, atau pun Khong Hu Cu. Akhir-akhir ini kekeliruan terjadi karena Klenteng di klaim milik ajaran agama tertentu.
            Kuil Kwan Im yang berada di pesarean Gunung Kawi merupakan kuil yang dibangun untuk menghormati sekaligus sebagai persembahan kepada Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih) yaitu dewi pengampunan yang sangat populer dalam kepercayaan China. Di dalamnya terdapat berbagai patung-patung, tempat untuk bersembahyang serta altar yang berfungsi untuk meletakkan lilin-lilin raksasa yang di persembahkan oleh pengunjung Pesarean Gunung Kawi. Kuil Kwan Im merupakan kuil yang di khususkan untuk entis tionghoa, oleh karena itu ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im juga merupakan ritual yang dikhususkan untuk pengunjung etnis tionghoa yang berkunjung ke pesarean gunung kawi.

2.3  SEJARAH GUNUNG KAWI
            Mitos bahwa suatu tempat bisa mendatangkan kekayaan dan kemakmuran masih menjadi kepercayaan sebagian masyarakat. Salah satu tempat yang dipercaya dapat mendatangkan kemakmuran dan kekayaan adalah Pesarean Gunung Kawi. Menurut kabar yang beredar di masyarakat,  orang-orang yang pernah datang dan sukses akan mendatangi pesarean Gunung Kawi kembali sebagai ucapan ‘terima kasih’. Kompleks pesarean Gunung Kawi terletak pada ketinggian 2.860 meter dari permukaan laut di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Malang, Kecamatan Wonosari, Desa Wonosari. Secara geografis pesarean Gunung Kawi berada di sebelah barat kota Malang, kira-kira ± 53 Km dari kota Malang, arah Malang selatan ke kota Kepanjen, dan dari kota Kepanjen menuju arah utara ke wisata Gunung Kawi.
            Seperti dataran tinggi lainnya, Gunung Kawi menawarkan keindahan pegunungan asri dengan udara yang menyegarkan. Lebih dari itu, Gunung Kawi ternyata memiliki magnet “lain” yang sangat kuat sebagai daya tarik. Karena bagi sebagian orang, Gunung Kawi adalah salah satu tujuan wisata religius sekaligus simbol kemakmuran. Memiliki ketinggian 2.860 meter dpl, Gunung Kawi tak pernah sepi pengunjung. Pesona Gunung Kawi tidak hanya di kenal di dalam negeri saja, bahkan banyak wisatawan mancanegara dari Hongkong, Taiwan hingga Singapura yang mendatangi pesarean ini.
            Tempat yang selama ini menjadi pusat penghidupan masyarakat sekitar adalah dua buah makam (pasarean) yang saat ini selalu dikunjungi oleh banyak orang. Makam ini merupakan makam dari dua orang tangan kanan Pangeran Diponegoro, yang bernama RM. Imam Soedjono dan Kanjeng Panembahan Djoego atau yang lebih dikenal dengan sebutan Eyang Djoego (Kanjeng Kyai Zakaria II). Cerita ini berawal setelah Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar, kedua orang ini kemudian berpisah. Eyang Djoego kemudian mendirikan perguruan di Kesamben, Blitar sedangkan RM Imam Soedjono tinggal di Padepokan di kaki Gunung Kawi. Perguruan Eyang Djoego mengalami kemajuan yang cukup pesat sehingga mempunyai banyak murid dan akhirnya terkenal sampai di kaki Gunung Kawi. RM Imam Soedjono mendengar hal tersebut dan kemudian pergi ke Kesamben untuk bertemu dengan Eyang Djoego. Akhirnya dua sahabat lama ini pun dipertemukan.
            Dalam pesannya sebelum wafat, Eyang Djoego meminta agar ketika beliau wafat, jasadnya dimakamkan di Gunung Kawi. Beberapa tahun kemudian, Eyang Djoego wafat dan dibawa ke Gunung Kawi untuk dimakamkan sesuai dengan amanahnya. Setelah Eyang Djoego wafat, RM Imam Soedjono juga berpesan agar kelak ketika beliau wafat juga dimakamkan di Gunung Kawi, berdampingan dengan makam Eyang Djoego, sahabatnya. Enam tahun kemudian, RM. Imam Soedjono pun menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan persis di samping makam Eyang Djoego sesuai dengan amanahnya. Kedua tokoh ini semasa mereka hidup dan berkarya selalu menanam kebaikan pada banyak orang. Karena kebaikan dan ketulusan hati mereka semasa hidup inilah, akhirnya menghantarkan banyak orang meminta pertolongan kepada mereka walaupun mereka sudah meninggal dengan mendatangi makam tersebut.
            Banyak hal yang menarik di kawasan pemakaman ini. Sebelum kita masuk, kita akan disuguhi dengan bangunan Gereja Kristen Pentakosta, Masjid Imam Soedjono, dan Klenteng Kwam Im. Menurut kami, situasi yang demikian ini menjadikan Gunung Kawi sebagai kawasan wisata yang multi kultur. Artinya semua orang bisa berziarah di tempat ini, apapun latar belakang agama dan ras nya. Bahkan, ada hal menarik lainnya yang kami jumpai. Pengurus Klenteng Kwam Im adalah seorang muslim, haji. Beliau bernama haji Yusuf, yang kesehariaanya memantau keadaan dan mengurusi segala kebutuhan di klenteng. Di dalam klenteng ini pula, akan dijumpai sesuatu yang unik juga bagi sebagian besar mayarakat. Memasuki area klenteng, mata kita akan dengan cepatnya melihat dan kagum akan lilin-lilin raksasa yang diletakkan di depan altar, yang masing-masing mempunyai nama sebagai tanda orang atau instansi yang memasang. Lilin terbesar sanggup menyala selama 6 bulan dan harga belinya pun mencapai puluhan juta. Masyarakat mempercayai bahwa nyala lilin tersebut melambangkan harapan untuk meraih kesuksesan. Selama lilin yang dipasang menyala, maka dipercayai rejeki akan terus mengalir, begitu juga sebaliknya.

2.3 KERANGKA PIKIRAN

BAB III

3.1 TEKNIK PEMILIHAN SAMPEL
Non-random Sampling atau Non-probability Sampling
*      Purposeful Sampling
            Dalam teknik purposeful sampling, peneliti memilih subjek penelitian dan lokasi penelitian dengan tujuan untuk mempelajari atau memahami permasalahan pokok yang akan diteliti. Dimana dalam penelitian Ritual Persembahan Lilin di Kuil Kwan Im, peneliti memilih lokasi penelitian yaitu, Kuil Kwan Im, serta dengan subjek penelitian yaitu, etnis tionghoa yang sedang bersembahyang di kuil tersebut. Dalam pengambilan teknik ini, subjek penelitian dan lokasi penelitian yang dipilih disesuaikan dengan tujuan dari peneliti yaitu ingin mengetahui secara mendalam mengenai ritual persembahan lilin yang dilakukan di Kuil Kwan Im. Sebelum penggunaan teknik purposeful sampling, peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi strategi sampling yang digunakan, yaitu dengan menggunakan Sampling yang bersifat homogen (homogeneous sampling).

*      Sampling yang bersifat homogen (homogeneous sampling)
                        Dalam penggunaan strategi sampling yang bersifat homogeny, peneliti memilih subjek penelitian atau lokasi penelitian karena adanya kesamaan sifat atau karakteristik antara subjek penelitian dengan kelompoknya. Peneliti memilih subjek adalah etnis tionghoa dan lokasi penelitian adalah Kuil Kwan Im,dimana terdapat kesamaan sifat atau karakteristik yaitu kuil yang memang identik dengan etnis tionghoa. Kuil pada dasarnya memang tempat yang di kulturkan atau di khususkan untuk sembahyang etnis tionghoa, begitu juga dengan Kuil Kwan Im yang di khususkan untuk sembahyang etnis tionghoa yang berkunjung ke pesarean Gunung Kawi.

3.2 METODE PENGUMPULAN DATA
*      Metode Observasi (Observation Methods)
            Metode observasi adalah peroses pencatatan pola perilaku subyek (orang), objek (benda) atau kejadian yang sistematik tanpa adanya pertanyaan  atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti. Metode ini menghasilkan data yang lebih rinci mengenai perilaku (subjek), benda atau kejadian (objek). Dalam penelitian ini metode observasi dilaksanakan langsung dengan melalui pengamatan langsung pada prosesi sembahyang dan pola perilaku (etnis tionghoa) terhadap benda atau kejadia (lilin) yang dilakukan oleh etnis tionghoa di Kuil Kwan Im.

*      Observasi Non-Partisipan
               Berdasarkan pelaksanaan (posisi observer yang berhubungan dengan bagaimana observasi dilakukan), observasi ini menggunakan metode Observasi Non-Partisipan. Observasi yang dalam pelaksanaanya tidak melibatkan peneliti sebagai pertisipasipan atau kelompok yang diteliti, dimana observer tidak ikut di dalam kehidupan orang yang akan diobservasi, dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat. Di dalam hal ini observer hanya bertindak sebagai pengamat saja tanpa harus ikut terjun langsung ke dalam ritual atau prosesi yang di lakukan subjek.

*      Wawancara
            Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah wawancara. Teknik ini dilakukan apabila seorang peneliti ingin mengetahui suatu hal yang lebih mendalam dari responden. Teknik wawancara ini didasarkan pada laporan pribadi, atau setidaknya memuat pengetahuann dan keyakinan pribadi. Dalam penelitian ritual persemhbahan  lilin di kuil Kwan Im, peneliti melakukan metode wawancara, dimana peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ritual persembahan lilin yang dilakukan di Kuil Kwan Im.

3.3 PENDEKATAN PENELITIAN
*      Etnografi
            Pada pendekatan etnografi peneliti memfokuskan penelitiannya pada kelompok atau suatu perilaku, adat istiadat, dan pandangan hidup kelompok tertentu melalui pengamatan penelitian secara langsung terhadap kelompok yang bersangkutan. Data yang diperoleh pun tidak hanya bersumber dari perkataan responden, melainkan diperkaya pula dengan hasil pengamatan, baik dalam bentuk foto, gambar dan symbol yang berhubungan dengan responden. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitiannya pada kelompok atau etnis tionghoa yang bersembahyang di Kuil Kwan Im. Peneliti juga memfokuskan penelitiannya pada kepercayaan etnis tionghoa akan makna dari ritual persembahan lilin, serta kepercayaan masyarakat tionghoa akan filosofi dari symbol yang digunakan dalam sembahyang yaitu, lilin yang berwarna merah.

 

BAB IV
ANALISIS PEMBAHASAN

4.1 RITUAL PERSEMBAHAN LILIN DI KUIL KWAN IM
            Selain ziarah di makam kedua bangsawan Yogyakarta itu, di kawasan pesarean juga terdapat dua tempat kunjungan yang sangat dikultuskan etnis Tionghoa, yakni kediaman Tan Kie Lam dan Kuil Dewi Kwan Im. Mpek Lam yang merupakan sapaan Tan Kie Lam adalah warga Tionghoa yang merupakan murid kesayangan Eyang Soedjo. Itu sebabnya, meski Mpek Lam telah meninggal 44 tahun lalu, kawasan Pesarean Gunung Kawi, terutama Kuil Kwan Im dan kediaman Mpek Lam, menjadi tempat tujuan warga keturunan Tionghoa. Bahkan, kehadiran mereka sangat dominan dibanding etnis lainnya. Pluralitas agama ini terlihat sangat harmonis. Ini bisa diwakili dengan letak Masjid Imam Soedjono yang berdiri tak jauh dari Kuil Kwan Im.
            Selain lokasinya yang dekat dengan masjid, keberadaan kuil itu tampak mencolok dengan lilin raksasa sebagai simbol dari Ti Kong. Di dalam kuil Kwan Im kukuh berdiri puluhan lilin merah ukuran raksasa dengan api beraroma harum terpancar dari sumbunya. Menurut kepercayaan etnis tionghoa, nyala lilin yang tingginya melebihi tinggi manusia dewasa itu merupakan bentuk persembahan umat kepada penciptanya.  "Nyala lilinnya besar berarti kasih sayang Pencipta juga besar, itu perlambang saja. Bukan berarti lilin yang kecil tidak bermakna demikian.
            Di dalam klenteng ini pula, akan dijumpai sesuatu yang unik juga bagi sebagian besar mayarakat. Memasuki area klenteng, mata kita akan dengan cepatnya melihat dan kagum akan lilin-lin raksasa yang ada di depan altar, yang masing-masing mempunyai nama sebagai tanda orang atau instansi yang memasang. Masyarakat mempercayai bahwa nyala lilin tersebut melambangkan harapan untuk meraih kemakmuran. Selama lilin yang dipasang menyala, maka dipercayai rejeki akan terus mengalir, begitu juga sebaliknya. Lilin-lilin tersebut milik orang-orang yang rutin datang ke Gunung Kawi untuk bersembayang di kuil Kwan Im. Bagi masyarakat atau etnis tionghoa lilin adalah simbol penerangan yang digunakan dalam sembahyang dengan keyakinan bahwa nyala lilin merupakan simbol penerangan akan jalan hidup yang terang. Lilin-lilin persembahan tersebut harganya mencapai puluhan juta rupiah, tergantung dari ukurannya. Untuk ukuran yang terkecil dengan lama nyala selama 3 bulan, lilin tersebut dihargai 15 juta. Untuk yang termahal dapat mencapai hingga 45 juta dengan lama nyala lilin kurang lebih selama 6 sampai 7 bulan. Para pengunjung percaya bahwa semakin besar lilin yang dinyalakan semakin terang jalan hidupnya.

4.2 MAKNA RITUAL PERSEMBAHAN LILIN
Kepercayaan Tradisonal
            Kepercayaan tradisional cina merupakan kepercayaan kaum tionghoa yang jika digabungkan dengan tradisi dan budaya sangat cocok. Kepercayaan tradisional tionghoa ini juga merupakan campuran 3 agama: budha, tao, dan kong hu chu. Aliran ini tercipta karena alkulturasi agama saat dahulu di cina yang berakhir menjadi kepercayaan yang dapat bersatu dengan budaya. Aliran ini cukup menarik jika digabungkan dengan tradisi pasti berkaitan dengan aliran ini dan sebaliknya (hubungan timbal balik antara budaya dan juga aliran kepercayaan). Aliran ini juga mengambil semua ajaran yang menarik serta inspiratif bagi pengikutnya. Ajaran Kong hu cu mengajarkan serangakaian ritual yang dilakukan dengan penggunaan sesaji tertentu sebagai penggunaan simbol dalam sembahyang. Ajaran Tao dan budha yang jika sembahyang atau berdoa menggunakan dupa/hio, lilin, dan menyembah patung dewa/budha. Aliran agama ini memang sudah lama terbentuk sejak dahulu oleh para pembawanya (budha, kong zi, dan lao zi). Dupa atau hio serta lilin merupakan sebagian kecil bentuk terkecil penggunaan symbol dalam sebuah ritual.

Kepercayaan akan Simbol yang Sakral
            Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa dalam kondisi normal tidak tersentuh, dan selalu dihormati. Sebagimana Durkheim menulis: “Semua kepercayaan religius, yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu ciri umum, yaitu mensyaratkan pengklasifikasian yang sakral. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan.” Lantas, “Bagaimana sebuah objek dapat menjadi sakral?” Berkaitan dengan hal ini Durkheim menulis: “ kekuatan religius tidak lain tidak bukan adalah perasaan-perasaan dalam diri setiap individu yang dipancing oleh kolektivitas, akan tetapi diproyeksikan ke luar pikiran yang mencerap dan mengobjektivikasinya. Agar bisa bisa diobjektivikasi, kekuatan tersebut harus melekat pada sesuatu yang kemudian menjadi sacral. Kesakralan yang dimiliki oleh sesuatu tidaklah muncul dari sisi intrinsik sesuatu tersebut: Kesakralan tersebut diimbuhkan padanya.”  Menjadi jelas disini, bahwa penetapan sakral atau tidaknya suatu objek tertentu sangat dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi kolektif  yang berkembang dalam masyarakat.
            Dalam hal ini kuil Kwan Im dijadikan sebagai sarana komunikasi dengan Sang Penguasa. Bentuk komunikasi antara umat dan Sang Penguasanya adalah ditungkan dalam bentuk Ritual persembahan Lilin. Dalam ritual ini, lilin dipercaya sebagai simbol sakral yang akan dipersembahkan kepada Sang Penguasa. Lilin yang memiliki filosofi yang penuh dengan keberuntungan dipercaya akan mampu menjadi sarana penyampaian segala doa atau pengharapan umat kepada Penguasa. 
            Adanya ritus atau upacara itu merupakan suatu upaya manusia untuk menjaga keselamatan dan sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Pada dasarnya konsep berpikir mayarakat Tionghoa selalu mengembalikan kepada hakekat keharmonisan antara kehidupan langit (alam gaib), kehidupan di bumi, dan manusia (alam dunia nyata). Mereka percaya bahwa alam semesta ini sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam. Alam dikuasai spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah ekspresi dari kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit yang mendiami alam. Berbagai spirit ini berada dan hidup dalam fenomena alam seperti langit, matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung dan fenomena lainnya. Di antara spirit alam terdapat spirit yang berasal dari arwah nenek moyang yang kekuatan hidupnya demikian kuat, sehingga dapat melanjutkan kekekalan hidupnya setelah jasmaninya mati. Mereka percaya jika melakukan penyembahan atau doa pada leluhur atau nenek moyang, maka akan terhindar dari kutukan nenek moyang. Spirit-spirit alam seperti bumi, langit, matahari, tumbuh-tumbuhan, air ini kemudian diakui sebagai dewa-dewi yang merupakan cikal bakal leluhurnya. Sampai saat ini masyarakat atau etnis tionghoa masih memegang teguh kepercayaan tersebut.
            Salah satu pemikiran Emile Durkheim yang cukup terkenal adalah teori tentang agama dan kepercayaan adalah “agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial.” Kepercayaan dan ritual-ritual keagamaan bagi Durkheim, merupakan ungkapan simbolik dari realitas sosial. Realitas sosial itu mendahului realitas agama. Ia menjiwai, melatarbelakangi, dan melahirkan realitas-realitas keagamaan. Kepercayaan masyarakat tionghoa atas filosofi nyala lilin di tuang ke dalam realitas-realitas sosial yaitu berupa ritual persembahan lilin yang dilakukan di Kuil Kwan Im Pesarean Gunung Kawi. Pengunjung yang datang ke pesarean Gunung Kawi percaya bahwa dengan melakukan ritual persembahan lilin tersebut maka, akan mendatangkan segala keberuntungan bagi kehidupan mereka. Nyala lilin sendiri dipercaya bahwa semakin terang nyala lilin tersebut, maka semakin terang juga jalan hidupnya. Nyala lilin yang terang sendiri tergantung dari besar lilin, maka semakin besar ukuran lilin, akan semakin besar dan tahan lama pula nyalanya. Oleh karena itu, di area Kuil Kwan Im, dapat dijumpai lilin-lilin raksasa yang di letakkan di altar Kuil. Lilin-lilin tersebut merupakan bentuk ritual persembahan pengunjung yang datang ke Kuil Kwan Im.
            Victor Turner (1982:19) menyatakan bahwa “The symbol is the smal­lest unit of ritual which still retains the specific properties of ritual behavior. It is the ultimate unit of specific structure in a ritual con­text”. Maksudnya, simbol adalah unit (bagian) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam konteks ritual. Itulah sebabnya, pada bagian lain Turner (1981:2) juga menyatakan bahwa “the ritual is an agregation of symbols”. Senada dengan ini, Radcliffe-Brown (1979:155-177) juga berpendapat jika tindakan ritual itu banyak mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbol-simbol ritual tersebut.
            Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian terkecil ritual pun perlu men­dapat perhatian peneliti, seperti sesaji-sesaji, mantra, dan ubarampe lain. Oleh karena, menurut Spradley (1997:121) simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.
            Di dalam kepercayaan etnis tionghoa, bersembahyang diartikan sebagai bentuk komunikasi antara manusia dengan para leluhur, shen ming (roh suci) dan TIAN (Tuhan Yang Maha Esa). Di dalam melakukan persembahyangan selalu ada persembahan yang disajikan seperti buah-buahan, lauk pauk, penganan berupa kue, dan hewan kurban. Selain sesaji tersebut orang tionghoa juga menggunakan dupa dan lilin dalam prosesi senbahyang mereka. Semuanya itu merupakan bentuk simbol atau lambang yang penuh dengan makna. Bentuk dan jenis persembahan itu berbeda-beda, tergantung kepada siapa mereka melakukan sembahyang. Etnis tionghoa menggunakan dupa (hio/xiang) dan lilin ketika melakukan sembahyang. Dupa (hio/xiang) mengandung makna 'harum semerbak', segala doa, permohonan,dan harapan yang keluar dari hati yang tulus itu bermohon agar diberkahi oleh Yang Maha Kuasa diiiringi harum dupa yang semerbak. Sedangkan lilin sebagai penerangan jiwa dan batin kita, sebagai pelita dalam menjalani kehidupan ini.
            Dalam kepercayaan masyarakat tionghoa lilin yang disebut juga la merupakan lambang persembahan umat kepada sang pencipta. Nyala lilin besar yang tingginya melebihi tinggi manusia dewasa berarti kasih sayang Pencipta juga besar, dan itu perlambang saja, bukan berarti lilin yang kecil tidak bermakna demikian. Lilin sebagai alat penerangan menyimbolkan bahwa manusia harus menjadi penerang bagi manusia lainnya. Penerang dalam arti juga bisa memberikan jalan keluar bagi orang lain yang punya permasalahan. Dari awal menyala sampai padam lilin selalu menjadi penerang, demikian halnya dengan manusia keberadaannya harus menjadi penerang sejak kecil hingga akhir hayatnya .
            Selain filosofi mengenai lilin, etnis tionghoa juga dikenal dengan warna khas mereka yaitu warna merah. Pada masyarakat Tionghoa, warna merah dinilai mengan- dung arti keberuntungan dan kebahagiaan. Oleh sebab itu setiap ornamen, warna kuil, baju, lilin dan lain sebagainya selalu berwarna merah. Warna merah juga merupakan simbol keberanian dan kesucian, ini mengandung arti bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan memiliki jiwa keberanian. Selain itu, masyarakat tionghoa juga percaya bahwa warna merah merupakan warna keberuntungan atau penebusan, jadi tujuannya adalah sebagai korban keselamatan.
            Lilin-lilin warna merah biasanya digunakan dalam prosesi sembahyang di klenteng. Pada kepercayaan etnis tionghoa lilin biasanya digunakan untuk upacara sujud yang diletakkan di depan meja sembahyang dengan tujuan untuk menghormati leluhur sekaligus minta berkat. Namun, di Kuil Kwan Im Gunung Kawi lilin besar atau yang biasa di sebut dengan lilin raksasa diletakkan berjejer di depan altar. Dalam ritual persembahan lilin tersebut, sepasang lilin raksasa berwarna merah dipasang disebelah kiri dan kanan altar. Masing-masing lilin tersebut mempunyai nama sebagai tanda orang atau instansi yang memasang atau yang mempersembahkan lilin-lilin tersebut. Lilin terbesar yang ada di Kuil Kwan Im sanggup menyala selama 6 bulan dan harganya pun mencapai puluhan juta. Masyarakat tionghoa yang datang kuil Kwan Im mempercayai bahwa nyala lilin tersebut melambangkan harapan untuk meraih kesuksesan. Selama lilin yang dipasang menyala, maka dipercayai rejeki akan terus mengalir.

Pengaruh elemen alam: antara mitos dan fakta
            Masyarakat Tionghoa memilki tradisi yang kuat untuk mentransfer nilai-nilai tradisional yang di ketahuinya pada anak cucu. Mereka meyakini ada lima faktor yang mempengaruhi hidup manusia yaitu, nasib pada saat lahir, hoki, feng shui, pendidikan atau pengalaman dan amalan. Selain itu ada lima unsur atau elemen yang membentuk alam semesta sehingga di akui dalam kalender Tionghoa. Kelima elemen itu adalah logam, air, kayu, api, dan tanah.Setiap unsur juga mempunyai pengaruh khas terhadap individu yang lahir pada tahun Shio yang bersangkutan.
            Segala sesuatu yang kita jumpai terdiri dari lima unsur yang dipercayai masyarakat tionghoa sebagai dasar kehidupan: air, kayu, logam, tanah, dan api. Karena mereka menganggap bahwa keseluruhan alam semesta terus-menerus berubah dan selalu berganti, maka unsur-unsur pun selalu berganti melalui interaksi satu sama lain. Orang China percaya bahwa benda memang ada, tetapi keberadaan itu dibatasi waktu di dalam daur perubahan yang tidak terelakkan. Sebuah model alternative selalu dikombinasikan dengan Yin dan Yang yang didasarkan pada Wuxing, suatu  pengertian dengan berbagai cara yang diterjemahkan sebagai lima elemen atau lima bagian, lima agen, lima fase atau tahap, atau lima kualitas operasional. kayu, api, tanah, logam, dan air: Wuxing berhubungan dengan lima pengertian, lima organ dalam, lima suara, lima warna, lima kebaikan, dan lima hubungan. 
            Kelima elemen yang ada akan mengontrol semua yang ada di bumi: air mengontrol api, api mengontrol logam, logam mengontrol bumi, bumi mengontrol air. Kombinasi Yin dan Yang yang didasarkan pada Wuxing yang berhubungan dengan warna adalah elemen Api (Lilin) yang dikombinasikan dengan warna merah, yang melambangkan keberuntungkan. Filosofi api sendiri merupakan salah satu elemen pembawa segala keberuntungan, dimana semakin besar nyala lilin yang dipersembahkan kepada penguasa, maka keberuntungan yang di dapat juga akan semakin besar. Oleh karena itu, dalam kuil-kuil banyak dijumpai lilin-lilin berwarna merah yang di letakkan di depan altar. Seperti halnya dengan kuil Kwan Im, disana dapat dijumpai lilin-lilin yang tidak hanya berukuran kecil saja, bahkan di kuil tersebut dapat dijumpai juga lilin raksasa yang mencapai tinggi badan orang dewasa. Di Kuil Kwan Im kita dapat menjumpai lilin yang dinyalakan mampu bertahan hingga 7 bulan.

4.3 FAKTOR PENDORONG DALAM RITUAL PERSEMBAHAN LILIN
            Bangsa Tiongkok merupakan suatu kelompok mesyarakat yang penuh dengan segala macam legenda, misteri, dan tradisi yang telah mengakar kuat dari turun temurun. Kadang-kadang orang asing yang menggolongkan etnis Tionghoa sebagai bangsa yang paling sukar untuk di mengerti. Etnik langka yang mansih dapat mempertahankan tradisi serta kepercayaannya. Pelaku binis etnis Tionghoa terkenal sebagai pekerja keras, hemat, dan ulet, maka keutamaan-keutamaan itu mengandaikan pelaku bisnis memilki perencanaan jangka panjang dan bukan orientasi pada keuntungan tinggi yang segear di dapat. Pada dasrnya pengunjung yang melakukan ritual persembahan lilin masih meyakini dan masih memegang teguh pada warisan nenek moyang dalam proses meraih kemakmuran hidup, antara lain:
*      Hukum Timbal Balik dan Abadi, tujuan ideal etnis tionghoa adalah menjadi seorang yang berbudi mulia dengan berpegang teguh pada prinsip moralitas dan tidak sedikitpun meninggalkan perbuatan baik, bahkan tidak akan berbuat sekedar untuk sesuap nasi.
*      Semangat Untuk Hidup Tinggi, yaitu senantiasa menghasilkan uang sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka. Sikap hidup orang Tionghoa sedemikian itu mengarah pada kemakmuran. Nilai-nilai yang di ajarkan seorang ayah kepada anaknya tidak pernah lepas dari unsur kerja keras, ulet, menghargai waktu serta modal, disiplin, hemat, menepati janji dan dapat di percaya.
*      Kaum Pekerja Keras, untuk sukses merteka membutuhkan orang lain atau jaringan bisnis. Mereka berpandangan bahwa sukses itu sesungguhnya adalah penghargaan yang mereka terima dari orang lain, sebagai mana nimbalan atas jasa atau kontribusi mereka kepada orang lain. Mereka percaya bahwa sukses brsifat mutual benefit yanitu timbal balik atau saling menguntungkan.
           Selain ketiga hal diatas, yang tidak boleh dilupakan dalam proses meraih kemakmuran dalam hidup adalah:
*      Amalan, merupakan proses persembahan akan rezeki yang telah diperoleh. Amalan disini diwujudkan dengan melakukan ritual persembahan lilin dengan pengharapan bahwa dengan melakukan ritual tersebut, individu yang bersangkutan akan memperoleh kemakmuran dalam hidupnya. Banyak dari etnis tionghoa atau pengunjung yang melakukan ritual persembahan lilin tersebut terdorong sebagai wujud amalannya. Selain karena amalan, ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im memang dilakukan atas dasar kondisi ekonomi atau kelancaaran usaha dengan pengharapan akan kelancaran usahanya yang secara otomatis akan mendapatkan pula kelancaran rezeki yang diperoleh. Sehingga faktor utama yang melatar belakangi seseorang melakukan ritual persembahan lilin adalah karena kondisi ekonomi.

4.4 TUJUAN MELAKUKAN RITUAL PERSEMBAHAN LILIN
Filsafat untuk Kemakmuran
            Dalam tradisi masyarakat tionghoa, mereka sangat memegang teguh pandangan hidup yang diyakini dari nenek moyang hingga sekarang, yaitu untuk dapat mencapai keselarasan hidup manusia mengenal atau mempergunakan lima elemen sebagi panduannya melangkah. Dalam berhubungan dengan alam, manusia harus senantiasa menjaga keselarasan atau mempergunakan kombinasi Yin dan Yang atau Wuxing. Selain itu, untuk dapat mencapai kemakmuran hidup, manusia tidak hanya menggandalkan kepercayaan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi hidup manusia yaitu, nasib pada saat lahir, hoki, feng shui, pendidikan atau pengalaman dan amalan, namun di balik itu manusia juga harus di dukung oleh keberuntungan, keberkahan, dan keselamatan. 
            Para pengunjung yang melakukan ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im percaya bahwa dengan melakukan ritual tersebut, maka jalan terang menuju keberuntungan akan segera menghampiri kehidupan mereka. Karena lilin dan warna merah memang di percaya oleh masyarakat atau etnis tionghoa sebagai symbol keberuntungan. Dengan melakukan ritual persembahan tersebut, pengunjung berharap akan memperoleh keberuntungan, keberkahan, dan keselamatan sehingga dalam hidupnya akan terarah menuju kemakmuran.
            Keberuntungan disini, diartikan akan selalu memperoleh keberutungan dalam segala hal. Karena keberhasilan seseorang selain di dudukung oleh nasib pada saat lahir, feng shui, pendidikan atau pengalaman, amalan dan keberuntungan atau oleh masyarakat tionghoa biasa disebut hoki. Keberuntungan disini diharapkan dapat mengantarkan seseorang meraih keberhasilan dalam hidupnya, baik beruntung dalam hal rezeki atau pekerjaan. Keberkahan disini, selain diartikan dengan rezeki atau materi, juga di harapkan perjalanan hidup orang yang melakukan ritual persembahan lilin tersebut, selalu di berkahi oleh penguasa, sehingga di mudahkan jalan menuju kesuksesan dan dimudahkan dari segala rintangannya. Keselamatan, di jabarkan sebagai bentuk perlindungan penguasa kepada umatnya. Masyarakat tionghoa percaya bahwa sesuatu yang besar tidak diperoleh dengan cara mudah. Artinya akan selalu ada rintangan dalam meraih sesuatu dalam hidup. Oleh karena itu, umat selalu meminta keselamatan dan perlindungan kepada penguasa akan datangnya bahaya yang tidak mereka ketahui datangnya. Jika ketiga hal tersebut telah dicapai, maka diharapkan kemamkmuran akan diperoleh dalam hidupnya.
 

BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
            Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. Ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan. Di pesarean gunung Kawi. Ada banyak macam ritual yang dapat dilakukan oleh pengunjung, salah satunya adalah ritual persembahan lilin di kuil Kwan Im.
            Dalam ritual tersebut digunakan lilin-lilin raksasa yang digunakan sebagai symbol persembahan. Lilin-lilin raksasa tersebut diletakkan di depan altar Kuil Kwan Im, yang masing-masing mempunyai nama sebagai tanda orang atau instansi yang memasang. Kepercayaan masyarakat tionghoa mempercayai bahwa nyala lilin tersebut melambangkan harapan untuk meraih kemakmuran. Selama lilin yang dipasang menyala, maka dipercayai rejeki akan terus mengalir, begitu juga sebaliknya. Lilin-lilin tersebut milik orang-orang yang rutin datang ke Gunung Kawi untuk bersembayang di kuil Kwan Im. Lilin-lilin persembahan tersebut harganya mencapai puluhan juta rupiah, tergantung dari ukurannya.bagi orang tionghoa, lilin merupakan lambang penerangan akan jalan hidup yang terang pula.
            Kombinasi Yang dan Yin yang didasarkan pada Wuxing yang berhubungan dengan warna adalah elemen Api (Lilin) yang dikombinasikan dengan warna merah, yang melambangkan keberuntungkan. Filosofi api sendiri merupakan salah satu elemen pembawa segala keberuntungan, dimana semakin besar nyala lilin yang dipersembahkan kepada penguasa, maka keberuntungan yang di dapat juga akan semakin besar. Oleh karena itu, dalam kuil-kuil banyak dijumpai lilin-lilin berwarna merah yang di letakkan di depan altar. Seperti halnya dengan kuil Kwan Im, disana dapat dijumpai lilin-lilin yang tidak hanya berukuran kecil saja, bahkan di kuil tersebut dapat dijumpai juga lilin raksasa yang mencapai tinggi badan orang dewasa. Bahkan terdapat nyala lilin yang  mampu bertahan hingga 7 bulan.
            Para pengunjung yang melakukan ritual persembahan lilin di Kuil Kwan Im percaya bahwa dengan melakukan ritual tersebut, maka jalan terang menuju keberuntungan akan segera menghampiri kehidupan mereka. Karena lilin dan warna merah memang di percaya oleh masyarakat atau etnis tionghoa sebagai symbol keberuntungan. Dengan melakukan ritual persembahan tersebut, pengunjung berharap akan memperoleh keberuntungan, keberkahan, dan keselamatan sehingga dalam hidupnya akan terarah menuju kemakmuran.



LAMPIRAN